Senin, 28 Februari 2011

Bahasa dan Teman Kehidupan

*Zulfikar Lidan

Ketika duduk diberanda sambil menikmati kopi pagi, tiba-tiba diusik oleh suara gaduh tetangga yang marah pada anaknya, mungkin si anak malas bangun pagi, atau tidak mau mandi untuk segera ke sekolah. Kata-kata serapah pun menghambur, mengotori udara, menyesakkan dada, dan menyakitkan telinga.

Di berbagai tempat, kejadian serupa sering terjadi; di sekolah guru sering menghardik muridnya yang kurang berprestasi dengan kata-kata kurang terpuji. Di kantor para manager/atasan sering mengeluarkan kata-kata yang meremeh-rendahkan stafnya karena tidak menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Inilah yang banyak terjadi, kata-kata telah menjadi alat kekuasaan, difungsikan untuk merendahkan orang lain dan meninggikan diri sendiri. Akibatnya adalah hubungan yang tadinya sekutu, saling mendukung dan bekerjasama menjadi seteru, yang tadinya relasi kini menjadi distansi. Papasan muka menjadi muram, masam, dan hambar. Hubungan guur-murid, Atau hubungan atasan-staf, atau hubungan ayah-anak mengalami kehilangan daya pikat. Dalam hal ini, Anak betul bangun dan mandi pagi lebih awal, karena ia takut serapah ayahnya. Bagaimana jika ayahnya tidak ada? Begitulah kebanyakan cara orang merubah perilaku, menciptakan kepatuhan dengan rasa takut. Kata-kata kemarahan, apalagi dalam bentuknya yang kasar bukan jalan keluar dalam dunia manusia.

Hubungan kemanusiaan mestinya seperti merawat bungan indah di taman, memerlukan siraman air kesejukan agar menjadi mekar dan membawa kesegaran. Tanyalah pada diri sendiri, apakah sudah memberi sentuhan (perawatan) terhadap pohonan yang akan dipetik buahnya nanti? Jika tak ada sentuhan (bimbingan) manusia tak terbimbing, berjalan tanpa arah, bergerak tanpa tujuan, absurd. jika anak tiap pagi sarapannya adalah bentakan dan kemarahan, maka esok ia akan menyemburkan api (malu) ke wajah ayahnya.

Kata-kata dan bahasa
Di suatu pagi yang cerah, dalam suasana akhir pekan, sambil minum kopi di Solong, Ulekareng, seorang sahabat bertanya tentang kata-kata, tanpa ragu yang ditanya menjawab, “kata-kata adalah milik orang yang belum menjadi, pongah, di tangannya kata-kata berwujud kekuasaan, bahkan adakalanya berbentuk penindasan, kemana-mana menenteng ‘aku’, yang mengalir adalah kemewahan, kesuksesan-kesuksesan, penonjolan diri, mengalahkan orang lain, dan mengait kaki teman sendiri yang sedang mendaki”. Kata-kata melekat pada kesombongan.

Tak puas dengan jawaban itu, sahabat yang lain bertanya lagi, apa bedanya dengan bahasa, sambil tersenyum yang ditanya menjawab, “bahasa adalah mendengar, memberi jalan dan membantu orang lain mengatasi kesulitan. Bahasa melekat pada kearifan dan kebijaksanaan. Mengapa? Tanya teman yang lainnya lagi, “Kearifan dan kebijaksanaan tidak pernah berharap pujian dari setiap ucapan, dan tidak pernah mengambil keuntungan dari setiap penyampaian”.

Dalam bahasa, jendelanya adalah hati, fikiran dan telinga. Jika telinga mendengarkan, maka pikiran mengolahnya, dan hati menampungnya. Menampung apa saja yang menjadi keluhan dan rintihan. Dan ketika berbicara, Bahasa tidak memiliki muatan, tidak ada kepentingan, hanya berfungsi menyampaikan. Menyampaikan apa? Menyampaikan pengalaman batin yang berasal dari kemurnian hati dan kejernihan pikiran. “Itulah sebabnya mengapa bahasa dapat menjadi obat bagi rasa sakit, dan penawar bagi mereka yang sedang kepayahan”.

Teman kehidupan
Dalam kehidupan ada dua pilihan untuk menjadi teman kehidupan; yang pertama adalah cahaya, dan yang kedua adalah kegelapan. Setiap orang memiliki teman berdasarkan prilakunya dalam kehidupan.Jika hari-harinya menjadi penghalang bagi keberhasilan orang lain, maka orang ini berteman dengan kegelapan, berjalan tanpa cahaya, menabrak dan menjatuhkan apa saja yang ada di depannya. Dalam dunia kegelapan setiap jerih memiliki nilai tukar yang lebih, setiap waktu adalah tipu daya, dan semua hari adalah kemenangan baginya.

Sebaliknya jika dia memberi jalan bagi kehidupan orang lain, maka dia bertemankan cahaya. Selalu mendapatkan bimbingan dalam langkah kehidupannya, melihat kekurangan dirinya atas setiap kegagalannya. Jika orang selalu berbuat baik dalam hidupnya maka dia memiliki dua matahari; yang pertama adanya di langit, sedang yang satunya lagi adanya di hati. Demikian menurut Karen Amstrong.

Kehidupan bukan menunggu, melainkan memilih. Suatu hari seorang teman berkata, “siapa yang menunggu matahari sampai di Barat, maka bersiaplah bertemu kegelapan”. Siapa saja yang tidak berjuang keras untuk kebaikan hidupnya, maka bersiaplah bertemankan kesedihan. Maka bangunlah dari tidurmu, berjuanglah untuk kehidupan yang lebih baik. Jadilah orang yang selalu menggunakan bahasa manusia dalam setiap kesempatan. Seluruh mahluk penghuni alam semesta ini adalah sahabat dalam kehidupan. ***

*Penulis adalah Fungsionaris KAHMI Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar