Sabtu, 12 Februari 2011

Menggugat Pemikiran Cak Nur


*Dirga Maulana

Nurcholish Madjid yang kerap disapa Cak Nur merupakan satu diantara ikon pemikir muslim menonjol di tanah air. Pada tahun 1970-an, Cak Nur banyak mengeluarkan gagasan terkait dengan pembaharuan pemikiran Islam, dengan nalar obsesifnya. Melalui diskursus terkait dengan sekularisasi, Cak Nur melejit bagaikan roket di kalangan umat Islam Indonesia. Sebagian orang lantas menahbiskan sosoknya sebagai pembaharu sekaligus tokoh reformis Muslim dengan mencetuskan gagasan pembaharuan yang dia racik sebagai ide sekularisasi. Olahan pemikiran yang diklaim sebagai sekularisasi itu, dirumuskan Cak Nur sebagai upaya menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan Umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. 

Bertolak dari gagasannya tersebut, Cak Nur dengan sangat percaya diri berargumen bahwa “Islam sebenarnya dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran”. Dengan mengusung ide sekularisasi dalam Islam ini, sosok Cak Nur berkibar di kancah nasional maupun internasional sebagai intelektual muda progresif. Penentangan atas pemikiran Cak Nur bergulir sejak dialog intelektual mengenai ide sekalurisasi ini masuk di ruang publik. Ranah pemikiran Cak Nur memang luas dan penuh dinamika, bahkan kerapkali juga menghadirkan kultus atas pemikirannya. 

Buku yang ditulis oleh Faisal Ismail, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, berupaya menggugat dan merefutasi Cak Nur melalui argumen-argumen ilmiah dan diniah (keagamaan). Sebagian besar buku ini mengkritik secara konstruktif ide-ide Cak Nur seputar ide sekularisasi. Poin-poin penting yang menjadi pokok gugatan Faisal terhadap konstruk pemikiran Cak Nur adalah peniadaan tuhan dalam ajaran tauhid bersifat terbatas (tidak mutlak), tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran, pembagian sekularisasi menjadi dua macam yakni sekularisasi yang dilarang dan yang diperintahkan dalam Islam, serta pemikiran Cak Nur mengenai ilmu yang bersifat otonom atau terpisah dari masalah-masalah keagamaan. 

Gugatan bagi Faisal dimaknai sebagai proses kritik konstruktif apresiatif, lawan berbicara adalah kawan berwacana. Dengan cara itulah, suasana kehidupan intelektual dan iklim ilmiah bisa terbangun melalui dialog keilmuan secara intensif. Di buku ini, dipaparkan terlebih dahulu bagaimana Cak Nur mengkonstruksi makna sekuler, sekularisme dan sekularisasi. Untuk mengetahui maknanya, kita terlebih dahulu melacak arti kata sekuler. Sekuler berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti satu zaman (an age), dengan begitu kata sekuler berarti hal-hal yang berkenaan dengan zaman sekarang (dunia). 

Sekuler (secular) merupakan kata sifat, sekularisme (secularism) menunjukkan kata benda, sementara sekularisasi (secularization) juga merupakan kata benda, pada intinya terkait hal yang sama yakni pemisahan hal-hal yang duniawi dari hal-hal yang agamawi, ukhrawi, suci dan spiritual. Perbedaannya, terletak pada konteks penggunaan ketiga istilah tersebut. 

Guna memperkuat argumen ilmiahnya Faisal mengutip pandangan Alan Richardson, seorang Profesor Universitas Nottingham, Inggris. Richardson melemparkan gagasan “kita lebih suka mengatakan bahwa tujuan Agama Kristen adalah untuk menghilangkan bidang sekuler sehingga tidak ada bidang kehidupan yang berada di luar kuasa (Nabi) Isa”. Pandangan ini yang dijadikan Faisal sebagai pegangan untuk memahami arti sekularisme dan sekularisasi yang berlaku dalam dunia ilmu pengetahuan.

Sekularisme, menurut Mukti Ali, sebenarnya merupakan konsepsi Kristen Barat yang tidak terdapat di dalam Islam. Tak ketinggalan, Rasjidi pun berpendapat, menurutnya sekularisasi mempunyai hubungan sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dari sekularisme, sementara sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah gereja di Barat.

Pada abad ke-19, istilah sekuler diartikan sebagai bidang-bidang di mana gereja atau Christian Concience tidak berhak mengambil bagian dan ikut campur tangan dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Sejak itu pula, kata sekuler dan sekularisme dalam masyarakat Barat telah dirasakan mempunyai konotasi yang membatasi ruang gerak agama di ranah publik dan tidak jarang pula disertai dengan praktik-praktik propaganda anti agama yang tak menyenangkan. 

Bagian paling menarik dalam buku ini, saat Faisal menunjukkan kerancuan ilmiah Cak Nur dalam menggunakan dan menerapkan istilah sekularisasi pada banyak dimensi pemikiran yang disindirnya hanya sebagai upaya menyesuaikan dengan alur kemauan dan koridor pemahaman Cak Nur sendiri. Kelima gagasan Cak Nur tentang sekularisasi tersebut yakni, pertama, menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan Umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Kedua, pentingnya ajaran-ajaran Islam itu disentuhbumikan. Cak Nur berpendapat, doktrin Islam yang begitu tebal dalam lipatan-lipatan kitab suci Al-qur’an dan hadits jangan dibiarkan mengawang. Doktrin-doktrin Islam harus mampu menjawab tantangan zaman dan relevan dengan keadaan ruang dan waktu. Ketiga, pembebasan diri dari tutelege (asuhan) agama sebagai cara beragama secara dewasa, beragama dengan penuh kesadaran dan penuh pengertian, tidak sekedar konvensional belaka. Keempat, proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling kuat pada ide pemisahan (total) agama dari negara. Ini merupakan cangkokan Cak Nur dari tinjauan sosiologisnya Robert N Bellah. Kelima, racikan Sekulerisasi Cak Nur dikaitkan dengan konversi animis ke kepercayaan tauhid. Cak Nur berdalil, Islam dimulai dengan sekularisasi dan tauhid merupakan pangkal tolak proses sekularisasi besar-besaran. 

Faisal menggarisbawahi, bahwa kelima gagasan Cak Nur tentang sekularisasi itu bukan merupakan deskripsi elaborasi dari pengertian sekularisasi yang satu atas pengertian sekularisasi yang lain. Justru, gagasan Cak Nur itu berdiri sendiri-sendiri. Ada yang terkait dengan ‘penduniawian’ nilai-nilai, ada yang diterapkan kepada animis yang konvert ke kepercayaan tauhid, ada juga yang dikaitkan dengan upaya membumikan ajaran-ajaran Islam agar sesuai dengan ruang dan waktu. Hal ini secara lugas disebut Faisal sebagai sesuatu yang aneh dan ganjil karena biasanya seorang seorang pakar dalam suatu disiplin ilmu hanya merumuskan satu istilah dengan satu pengertian saja. Pertanyaan kritis Faisal, manakah dari kelima pengertian sekularisasi ciptaan Cak Nur itu yang harus dipegangi dan diikuti?. Selain kerancuan ilmiah, bagian lain buku ini juga mengkonfrontir ide sekulerisasi Cak Nur melalui rujukan-rujukan teks Alqur’an. 

Buku ini menjadi sangat penting dibaca, karena tak semata menambah wawasan keilmuan seputar gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, melainkan juga menjadi referensi utuh guna membaca konstruksi pemikiran ‘sekularisasi’ Cak Nur dengan perspektif berbeda. Cak Nur tentunya aset bangsa ini, tapi dia juga tak sepantasnya dikultuskan melalui pemikiran-pemikirannya. Apakah Cak Nur dengan pemikiran ‘sekularisasinya’ akan terus dipuja dan mendapat tempat terhormat di arus pemikiran Islam modern, atau justru terkubur bersama lembaran masa lalu? Semuanya akan sangat bergantung pada apresiasi ilmiah para intelektual selanjutnya. Paling tidak, gugatan Faisal ini bisa menjadi “oase” apresiatif, bagi para pengagum, pengkritik sekaligus penikmat pemikiran Cak Nur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar