Sabtu, 12 Februari 2011

Refleksi tentang Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)

Nurcholish Madjid

Pengantar:
Artikel berikut ditulis oleh Cendekiawan Muslim Almarhum Profesor DR Nurcholish Madjid atau Cak Nur, dan disampaikan pada Musyawarah Nasional IV KAHMI di Surabaya 14 Juli 2000. Sebagai bahan perenungan. 

Khusus untuk alumni dan kader HMI, semoga arsip tulisan ini akan mampu menggugah kesadaran mengenai arti Keislaman dan Keindonesiaan yang tak terpisahkan itu.

Sekalipun ditujukan untuk kalangan intern alumni HMI, namun siapapun pembaca blog ini dari kalangan muslim yang pernah mengecap bangku perguruan tinggi patut menyelami pikiran-pikiran bernas dan cerdas ini. Selamat membaca.


Untuk kesekian kalinya kita bertemu, saling tatap muka, dan saling mengenal kembali. Untuk kesekian kalinya pula kita berkesempatan secara bersama-sama merenung tentang diri sendiri, mempertanyakan kembali mengapa kita punya banyak alasan untuk saling berjumpa, dan apa sebenarnya yang mengikat hati dan pikiran kita.

Sudah tentu yang segera muncul dalam benak ialah, bahwa kita adalah sekumpulan orang dengan latar belakang pengalaman bersama yang sangat mengesankan, dan yang banyak sekali memberi bentuk dan warna kepada kepribadian kita masing-masing, yaitu pengalaman bergiat dalam HMI. Kedudukan kita sebagai mahasiswa telah lewat bertahun-tahun yang lalu, panjang dan pendek sesuai dengan riwayat hidup kita masing-masing, namun bekasnya dalam diri kita sedemikian mendalam, tidak mungkin terhapuskan lagi.

Tetapi marilah kita melakukan refleksi lebih jauh: Siapakah kita ini sebenarnya? Jelas kita adalah alumni. Namun, benarkah kita ini perwujudan tujuan dan cita-cita HMI, yaitu terbentuknya “Insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam?” Masing-masing dari kita berhak memberi jawaban kepada pertanyaan serupa itu, baik positif “ya” ataupun negatif “tidak”. Yang dapat dideteksi dengan mudah, karena bersifat lahiriyah dan formal, ialah wujud kita sebagai “insan akademis” seperti, misalnya, melalui seberapa jauh kita telah menyempurnakan studi kita, apa gelar akademis yang kita sandang, dan bagaimana bentuk peran kita dalam lembaga-lembaga akademis atau ilmiah. Tetapi karena sifatnya yang lahiriyah dan formal, maka ukuran-ukuran itu tidak jarang hampa makna, tidak substantif. Lebih substanstif ialah hakikat diri kita masing-masing sebagai insan “pencipta dan pengabdi”, suatu gambaran tentang pribadi yang kreatif, berkomitmen dan berdedikasi kepada agenda hidup yang lebih besar. Indikasi-indikasinya tidak bersifat angka nyata, tidak quantifiable, sehingga juga tidak  mungkin jawabannya diberikan dalam bentuk kepastian “ya’ atau “tidak”, namun barangkali kita masing-masing dapat merasakan, atau “merasa” sendiri.

Walaupun begitu, justru dalam hal kreatifitas, komitmen dan dedikasi itulah terletak hakikat kedirian kita yang lebih mendalam. Kemudian jauh mendalam lagi ialah refleksi tentang wujud kita sebagai insan yang “bernafaskan Islam”. Mungkin saja kita akan kembali memperdebatkan  apa itu arti ungkapan “bernafaskan Islam”,  seperti dahulu, bertahun-tahun yang lalu, kita lakukan dalam latihan-latihan kepemimpinan Himpunan. Tetapi tanpa membuang waktu,  kita dapat merujuk kepada kepribadian pendiri dan penggagas berdirinya Himpunan, yaitu almarhum Profesor Lafran Pane. Kita berhak merasa beruntung mempunyai seorang tokoh pendiri yang kepribadiannya sedemikian luhur dan bersifat teladan. Maka dengan “membaca” kepribadian Pak Lafran, sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “bernafaskan Islam” ialah seperangkat kualitas kepribadian yang sesungguhnya kita merasa seperti sudah tahu, yaitu “akhlak mulia”. Apalagi, sebagaimana sering diingatkan oleh para ulama dan muballigh, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa tujuan tugas suci beliau ialah menegakkan kesempurnaan akhlak mulia itu.

Dalam hal “nafas Islam” dengan substansiasi “akhlak mulia” itu kita benar-benar berhadapan dengan tantangan untuk menjawab pertanyaan diri dengan hati yang sejujur-jujurnya. Sebab kebohongan toh tidak akan berguna sama sekali, seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW kepada Sahabat Wabishah, “Hai Wabishah, mintalah nasehat dirimu sendiri: kebajikan ialah yang hati tenteram kepadanya dan jiwa tenteram kepadanya; dan dosa ialah sesuatu yang bergolak dalam hati dan dada gundah-gulana karenanya, sekalipun semua orang mendukungmu.” (dari Hadits oleh Ahmad dan al-Darimi). Hal serupa juga terungkap dalam kalimat Abraham Lincoln yang terkenal, “You can fool some people all of the time, and all of the people some of the time; but you cannot fool all of the people all the time.”

Dalam rangka itu, dan dengan semangat introspeksi serta self-examination, sebaiknya kita bersama dalam kesempatan ini melakukan pertanyaan renungan seperti ini:

Pertama, seberapa jauh sebenarnya, dalam tindakan sehari-hari, kita tetap dalam kesadaran iman kepada Allah, meyakini kehadiran-Nya dalam hidup dengan segala kegiatan kita, percaya pada yang gaib dan pengawasannya. Penanyaan diri ini tetap harus senantiasa dilakukan, sekalipun kita telah hafal Rukun Iman pertama itu, dan merasa telah menjalankannya. Tetapi siapa tahu bahwa kita di Akhirat nanti ternyata tercatat sebagai orang kafir, karena dalam kegiatan sehari-hari kita menganggap, sadar atau tidak sadar, bahwa persoslan iman kepada Tuhan tidak relevan, dan yang relevan ialah persoalan kepentingan diri sendiri, self interest kita masing-masing.

Kedua, seberapa jauh, dalam tindakan sehari-hari, kita tetap dalam kesadaran tentang adanya kehidupan alam baka setelah mati, dalam Alam Akhirat, dengan adanya kebahagiaan abadi Surga atau kesengsaraan kekal Neraka. Atau sebenarnya kita memandang itu semua sebagai dongeng belaka, dan tidak perlu mempengaruhi tingkah laku kita?! Tentu tidaklah demikian itu. Sebagai Rukun Iman Kelima, Allah mewajibkan kita percaya kepada Hari Akhirat karena adanya Hari Akhirat itu sendiri memang benar-benar nyata , yang bagi manusia baru akan terbukti sesudah mati. Juga karena dengan percaya kepada kehidupan Hari Akhirat itu kita sekaligus terbimbing ke arah akhlak mulia di dunia, dengan menempuh hidup penuh tanggung kawab, “hidup sekali berarti dan sesudah itu mati,” dan “hidup di dunia fana penuh makna sebelum kembali ke alam baka.”

Ketiga, untuk kelengkapan refleksi itu, kita harus menyempatkan diri bertanya kepada diri sendiri dalam kerangka keseluruhan jiwa Rukun Iman: seberapa jauh dalam kegiatan sehari-hari kita benar-benar diliputi oleh jiwa dan roh keimanan kita kepada para malaikat, kitab-kitab suci, dan para nabi dan rasul, dan dengan penuh percaya serta berpengharapan kepada Allah berkenaan dengan segala sesuatu yang menimpa kita, karena yang lampau telah terjadi sebagai ketentuan Illahi, namun yang akan datang tetap terbentang dan terbuka bagi ikhtiar dan harapan.

Sejalan dengan banyak penegasan dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi, semua yang tersebut diatas itu merupakan urusan kita masing-masing yang paling pribadi, tanpa kemungkinan orang lain mampu sepenuhnya melongok dan mengetahuinya. Tetapi demi kejujuran kepada Allah dan kepada diri sendiri, kita harus berusaha menyadari tentang diri kita seperti adanya, dengan penuh harapan kepada Allah dan syukur kepada-Nya meneruskan mana-mana yang baik dan dengan penuh tulus-ikhlas berhenti dan menghentikan mana-mana yang tidak baik. Sebagai umat yang berpegang kepada Kitab Suci Al-Qur’an, cobalah kita renungkan sedalam-dalamnya seruan Allah dalam Surat a–Zumar/39 ayat-ayat 53-59 berikut ini:
  • Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yag Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
  • Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong lagi.
  • Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadari.
  • Supaya jangan ada yang berkata: Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (ajaran).
  • Atau supaya jangan ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertaqwa.’
  • Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab: ‘Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang bernuat baik.’
  • Sebaliknya, sungguh telah datang keterangan-ketarangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakan lagi kamu menyombongkan diri, dan kamu termasuk orang-orang yang menentang (kafir).”
Semuanya bahan refleksi diri itu kita amat perlukan, karena dengan masuknya negeri kita ke masa reformasi sekarang ini, masing-masing kita, dalam peranan khususnya sendiri, harus menyertai seluruh bangsa untuk beranjak dan berkiprah mewujudkan cita-cita reformasi. Membangun masyarakat madani, menuju Indonesia baru. Bekal dalam menempuh perjalanan sejarah yang amat sulit itu ialah taqwa, yaitu semangat Ketuhanan, sebagaimana wasiat Allah, “Bekalilah diri kamu semua, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal ialah taqwa. Dan bertaqwalah kamu semua kepada-Ku, wahai orang-orang yang berpikiran mendalam” (Q.S. al-Baqarah/2:197).

Tentang Penulis: NURCHOLISH MADJID, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul ‘Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984). Cendekiawan yang acap disapa Cak Nur ini wafat pada Senin 29 Agustus 2005 Pukul 14.05 di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Meninggal dunia dalam usia 66 tahun. Pendiri Yayasan Paramadina ini meninggalkan seorang istri, Omi Komaria dan dua anak. Kedua anaknya, Nadia Madjid dan Ahmad Mikail Madjid , selama ini tinggal di Washinton dan Boston, AS.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar