Minggu, 13 Februari 2011

Independensi Kekuatan Politik HMI

Tanggal 5 Februari 2011 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) genap berusia enam puluh empat tahun, Sebuah perjalanan sejarah yang panjang untuk mencatatkan prestasinya bagi kepentingan bangsa Indonesia. Suatu organisasi kemahasiswaan Islam yang terlahir dari rahim suci ibu pertiwi dengan suatu komitmen ke-islaman, ke-indonesiaan dan ke-intelektualan.

Ditengah kritisisme dan pesimisme banyak kalangan –termasuk para aktivis dan alumninya- akan masa depan HMI, saya secara pribadi masih menyimpan sejumlah optimisme bahwa HMI akan tetap menjadi anak kandungnya umat (rakyat) bangsa Indonesia sepanjang masih memiliki visi, misi dan tujuan yang tak pernah berubah dari cita-cita awal didirikannya HMI.

Mengapa optimisme itu masih disandarkan pada HMI ? Lantaran sebagai organisasi kemahasiswaan Islam tertua di Indonesia, HMI memang bukan sebagai organisasi politik, akan tetapi HMI memiliki kekuatan politik melalui independensinya.

Dalam perspektif semacam itu kekhawatiran terhadap intervensi kekuatan politik dan ekonomi alumninya, atau kekuatan kekuasaan politik kenegaraan tampaknya tidak perlu untuk dirisaukan. HMI memiliki kekuatan politik bukan pada proses dukung mendukung atau tolak menolak berdasarkan kalkulasi dan perhitungan politik kekuasaan, lebih dari sekedar itu HMI masih memiliki komitmen yang kuat bagi tumbuh suburnya masyarakat madani atau civil society di Indonesia.

Independensi HMI

Dalam mewujudkan tujuan HMI, "terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT", HMI memiliki kekuatan Independensi yang bersumber pada nilai-nilai ruhani dan spritualitas yang tinggi bahwa hakekat kemanusiaan setiap manusia akan selalu cenderung kepada nilai-nilai kebenaran (hanif).

Kecendrungan setiap manusia kepada nilai-nilai kebenaran (hanif) itu pula yang meletakkan posisi independensi HMI berdasarkan nilai-nilai perjuangannya pada nilai-nilai kebenaran yang paling hakiki dalam merealisasikan moral politiknya, sebagaimana di dalam Al-Qur’an, "Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka ialah orang-orang yang beruntung," (QS. Ali Imran: 104).

"Kamu ialah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110)

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (ialah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana." (QS. At-Taubah: 71)

Dengan sandaran yang bersifat transendental itulah maka HMI memiliki kekuatan politik, tepatnya moral politik yang besar untuk mendorong hadirnya kehidupan masyarakat madani (civil society) di Indonesia.

Dalam tinjauan yang sangat teoritis kekuatan moral politik HMI juga mesti mendorong hadirnya komunikasi politik yang makin terbuka sebagai suatu syarat hadirnya masayarakat madani (civil society) sebagaimana Gramsci mensyaratkan dua syarat bagi terbentuknya masyarakat madani (civil society), yaitu: Pertama, sangat tergantung pada tersedia atau tidaknya sebuah ruang atau pentas bagi pertarungan ide, gagasan atau ideologi. Karenanya masalah demokrasi dan masyarakat madani (civil society) tidak bisa dipisahkan dari komunikasi politik.

Kedua, prasyarat bagi kehidupan masyarakat madani (civil society) adalah lenyapnya feodalisme sebagai ideologi tunggal. Sebaliknya, feodalisme akan terkikis dengan sendirinya bila daya kritis dan kreatif masyarakat dibuka. Untuk membuka semuanya ini, perlu diciptakan suatu “medan komunikasi terbuka”, termasuk komunikasi politik.

Bagi aktivis, kader HMI dan alumni HMI sudah semstinya mendorong kekuatan politik moral HMI untuk merealisasikan independensinya pada kekuatan untuk dukung mendukung dan menyeru pada yang ma’ruf dan kebajikan dan tolak menolak pada kemungkaran, beriman dan mentaati Allah serta Rasulnya. Bukan pada prakmatisme politik yang bukan menjadi jati diri HMI.

Tantangan Masa Depan HMI

Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam merealisasikan politik moralnya, HMI menghadapi berbagai tantangan dan problematikanya di sepanjang perjalanan sejarah HMI. Tantangan dan problematika itu bukan saja datang dari kekuatan tarik-menarik kekuasaan politik kenegaraan akan tetapi juga dari tarik-menarik kekuatan di dalam internal HMI pada prakmatisme politik dan idealisme.

Masa depan HMI ditentukan oleh seberapa besar HMI mampu menghadapi tantangan dan problematika yang dihadapi dengan senantiasa menjaga nilai-nilai independensinya. Dan dalam menjaga independensinya itu HMI mesti mengorientasikan perkaderannya tetap pada tiga nilai-nilai utamanya:

Pertama, nilai-nilai ke-islaman mesti menjadi orientasi bagi perkaderan HMI. Dengan nilai-nilai ke-islaman yang inklusif, HMI mampu menciptakan suasana keagamaan yang kondusif dalam kondisi dan tantangan keagamaan di Indonesia yang terus menghadapi problem penistaan agama dan menjaga pluralisme di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi HMI untuk selalu hadir dalam menyelesaikan problem-problem keumatan secara nyata sehingga HMI akan benar-benar menjadi anak kandung umat.

Kedua, nilai-nilai ke-indonesia adalah merupakan bagian yang menjadi orientasi pula dalam perkaderan HMI. Nilai-nilai ke-indonesiaan itu sebagai wujud bahwa politik moral HMI benar-benar dapat direalisasikan bagi kemajuan bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia menjadi negeri yang baik dengan Tuhan yang maha pengampun, Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur (QS. Saba: 15), suatu negeri yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo yang diridhoi Tuhan.

Ketiga, nilai-nilai ke-intelektualan mesti pula senantiasa menjadi orientasi dalam perkaderan HMI. Perkaderan HMI diorientasikan pada pengembangan visi intelektual kadernya. Energi yang besar ini akan menjadi potensial bagi pengembangan HMI menjadi kampus kehidupan yang paling nyata bagi mahasiswa di seluruh Indonesia.

HMI akan mampu membangun nilai-nilai intelektual sepanjang HMI senantiasa menjadikan setiap perkaderannya menjadi tempat tumbuh suburnya budaya mendengar, dengan pengembangan budaya dialog, berdiskusi dan berdebat baik secara formal maupun informal. Mengembangkan budaya membaca baik dalam makna yang tekstual maupun konstektual dalam membaca perkembangan zaman yang makin pesat dan maju, sehingga kader-kader HMI memiliki wawasan intelektual yang luas dan memiliki analisis yang memberi solusi bagi kepentingan sebuah kemajuan. Dan mengembangkan budaya menulis untuk menyusun ide dan gagasan secara konseptual yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan Umat (rakyat) bangsa Indonesia.

Pertanyaan yang paling krusial yang mesti kita kemukakan adalah, dapatkah HMI terus menerus menjaga independensinya untuk mewujudkan harapan dan cita-cita suci itu sebagai suatu kekuatan moral politik di Indonesia?

Optimisme tampaknya mesti terus kita sandarkan kepada HMI agar mampu menjadi moral politik untuk tumbuhnya masyarakat madani (civil society) di Indonesia. Kepada Nur Fajriansyah, Ketua Umum PB HMI dan kepada aktivis dan kader HMI seluruh Indonesia tidak berlebihan kalau kita titipkan optimisme itu kepada mereka. Kita ingin HMI menjadi Harapan Masyarakat Indonesia sebagaimana harapan Jenderal Soedirman pada diesnatalis HMI yang pertama.

Selamat Milad HMI ke-64, Jayalah HMI!

Penulis adalah Ketua PB HMI 2002-2004, Koordinator MPK PB HMI 2004-2006 dan Wakil Sekretaris Jenderal PKMN KAHMI 2009-2012.

Wahyu Triono KS
Bhayangkara No. 9A PGS Cimanggis, Depok
wahyu_triono2004@yahoo.com
081219921609


REPRO. suarapembaca.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar