Kamis, 24 Februari 2011

Pemerintah Boikot Media


Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyesalkan adanya media massa yang terus menerus mendiskreditkan pemerintah. Menurutnya, media tertentu tersebut berperan membuat kesan Indonesia sebagai negara tidak aman.
Kondisi itu dikhawatirkan berdampak larinya investor. "Coba kita lihat, ada media TV, media koran yang tidak ada habisnya menjelekkan pemerintah," kata Dipo, di Istana Bogor, 21 Februari 2011.
Dipo kemudian mencontohkan ada media yang terus memutar gambar kejadian negatif yang terjadi, secara terus menerus. "Gambarnya diulang-ulang. Untuk memojokkan Pemerintah. Putar gambar berulang-ulang buat apa? Itu malah membuat investor lari," ujarnya.

Dipo mengatakan, pemerintah tidak alergi terhadap kritik. Namun, pemerintah mengancam akan memboikot media yang terus mendiskreditkan pemerintah.
"Saya bukan alergi kritik. Boleh dikritik, tapi kalau isinya akumulasi that is wrong (kesalahan)," kata bekas aktivis ini. "Kalau mereka sekarang tiap menit menjelekkan terus, (instansi pemerintah) tidak usah pasang iklan di situ."
Tidak hanya mengancam boikot iklan, Dipo juga mengancam pemerintah akan meminta pejabat tidak memasang orang untuk wawancara.
"Orang yang diinterview saat prime time (waktu tayang utama) tidak usah datang yang dari pemerintah. Karena kita ngomong apapun salah, dijelaskan pun salah," ujarnya.

Banjir kecaman
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Akbar Faizal menyatakan rasa kecewanya terhadap Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Akbar mengaku sejak lama telah mengagumi Dipo sebagai tokoh aktivis senior.
"Bagi saya, nama Bapak terlalu besar di benak saya. Tapi kemudian hancur beberapa hari belakangan," kata Akbar saat rapat kerja Komisi II dengan Menseskab Dipo Alam di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu 23 Februari 2011.
Akbar mengaku tidak paham dengan pernyataan-pernyataan Dipo terkait boikot media yang menjelek-jelekkan pemerintah. "Apakah ini bentuk dari kegamangan atau ketadakpercayaan pemerintah, atau itu merupakan bentuk kegamangan Bapak pribadi. " tambah Akbar.
Akbar menilai pernyataan Dipo selaku tokoh dan pejabat negara mengenai boikot media sungguh keterlaluan. "Bapak kebangetan! Saya setuju kalau ada media yang tidak proporsional dalam memberitakan. Tapi itu tetap tidak memberikan hak kepada Bapak untuk mengeluarkan pernyataan seperti belakangan ini," tambah akbar.
Akbar menengarai Dipo mestinya mengetahui bahwa sebuah media yang bagus tidak akan pernah bisa mencampurkan bidang usaha dan redaksi. Sehingga apabila ada ancaman kepada media tersebut dengan memboikot iklan agar tidak memberitakan sesuatu menyangkut kepentingan pihak tertentu, itu akan sia-sia. Karena kebijakan redaksi dan kebijakan usaha tentu berbeda. Berita itu pun tetap dapat dipublikasikan.
Lagipula, lanjut akbar, dalam era keterbukaan dan kebebasan pers sekarang ini jelas tidak mungkin media hanya dan selalu memberitakan hal-hal yang baik saja. "Saya tidak bermaksud menggurui bapak. Saya harapkan tak akan terjadi lagi hal seperti ini," kata Akbar. "Saya yakin ilmu saya lebih sedikit dari Bapak, tapi saya sedih orang yang saya kagumi memperlakukan media seperti itu," kata akbar.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, mengaku prihatin dengan pernyataan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, yang akan memboikot media lantaran menyerang pemerintah.
"Saya sedih juga. Kita memperjuangkan kebebasan pers itu lama," kata Mahfud, di Jakarta, Selasa 21 Februari 2011.
Menurut Mahfud aksi boikot boikot yang dilakukan institusi kenegaraan tidak sejalan dengan UUD 1945. "Tapi saya tidak memprovokasi untuk mengatakan bertentangan," imbuhnya.
Namun, Mahfud menyesalkan jika ada perbedaan pendapat kemudian diikuti dengan aksi boikot, apalagi yang mengajak boikot adalah institusional resmi.
Seharusnya, kata dia, pemerintah membiarkan saja media melakukan kritik. "Seperti MK dikritik terus menerus, tapi MK senang," kata dia.
Kalau memang tak suka dengan pemberitaan sebuah media massa, menurut Mahfud, Pemerintah bisa melawan dengan opini juga. "Bukan menyuruh boikot," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis mengecam pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang memerintahkan instansi pemerintah agar tidak memasang iklan kepada media yang gemar mendeskreditkan pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak bisa menggunakan anggarannya untuk menekan media.
Harry menjelaskan, selama ini plafon anggaran untuk iklan pemerintah tidak jelas tercantum di APBN. Anggaran iklan itu masuk dalam anggaran belanja barang sebesar Rp132 triliun tahun ini. "Namun belanja iklannya tidak tahu, tiap-tiap kementerian/lembaga biasanya ada belanja iklan," ujarnya kepada VIVAnews, di Jakarta, Selasa, 22 Februari 2011.
Dirinya juga tidak setuju dengan adanya iklan pemerintah atau BUMN yang tidak pada tempatnya atau tidak ada tujuan sosialiasi kepada masyarakat. Iklan pemerintah tetap perlu, sepanjang menyangkut kepentingan masyarakat.
"Misalnya sosialiasi penurunan tarif, itu perlu disosialisasikan. Kalau gambar menteri saja dan tidak ada hubungannya dengan masyarakat itu pemborosan," ujarnya.
Pihaknya juga akan mengecek berapa anggaran pemerintah yang dihabiskan untuk iklan kepada media. Apalagi, banyak tudingan iklan pemerintah gencar dilakukan di akhir tahun, karena rendahnya penyerapan anggaran. "Kita akan tanya kepada pemerintah, berapa anggaran yang harus dihabiskan untuk iklan ini," tambahnya.
Di sisi lain, ia tidak setuju adanya perintah untuk memboikot media yang gemar mengkritik pemerintah. Jika pemerintah salah dan tidak mau dikritik, sama halnya dengan pemerintah masa orde baru.
Sekarang justru menggunakan alat pemerintah untuk menyerang balik media. Hal itu tidak bisa dibenarkan. "Itu merupakan pilihan masing-masing kelembagaan mereka untuk memasang iklan atau tidak. Masing-masing pihak  mempunyai standar, bukan standar anti seperti itu, itu sangat subyektif," tegasnya.
Gunakan hak jawab
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam sangat tidak wajar.  Seharusnya jika pemerintah keberatan dengan isi siaran televisi, sudah ada jalurnya. Yakni melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
"Tidak sewajarnya seorang pejabat pemerintah berpendapat seperti itu" kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Hendrayana, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 22 Februari 2011.
Hendrayana menegaskan bahwa ada jalur dan mekanisme yang bisa ditempuh bila pemerintah keberatan terhadap pemberitaan suatu media. Penyelesaian sengketa pemberitaan sudah diatur dalam Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran.
"Kami menyarankan Sekretaris Kabinet Dipo Alam untuk menggunakan hak jawabnya atau mengadukan kepada Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Informasi (KPI)," ujar Hendrayana. Dia juga mengingatkan Dipo Alama bahwa fungsi dan peran media adalah sebagai pengontrol kepentingan publik.

Tak takut dewan pers
Ancaman boikot media yang dianggap 'menyerang' pemerintah dikeluarkan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, Senin 21 Februari 2011. Selain menghentikan iklan dari instansi pemerintah, Dipo juga mengancam pemerintah akan meminta pejabat tidak melayani permintaan wawancara dari media-media tersebut.
Terkait pernyataannya itu, hari ini Dipo menegaskan, dirinya tidak pernah menginstruksikan jajaran pemerintah memboikot media yang mengkritik pemerintah. Boikot menurut Dipo hanya dilakukan kepada media yang terus menerus mendiskreditkan pemerintah, dengan niat membuat citra jelek.
"Beda antara kritik dan menjelek-jelekkan, karena kalau menjelek-jelekkan itu sudah ada tendensi mengungkit atau meningkatkan kebencian. Juga ada sesuatu yang bisa tujuannya tidak murni dalam pemberitaan," kata Dipo sebelum Rapat Kerja Kabinet dan Gubernur di Istana Bogor, Jawa Barat, 22 Februari 2011.
Dipo mengingatkan peran media dan pers sebagai pilar keempat demokrasi, sekaligus salah satu elemen pemangku kekuasaan. Karena itu Dipo menginstruksikan aksi boikot terhadap media yang terus mendiskreditkan pemerintah sebagai kritik terhadap peran media, yang juga harus bertanggung jawab terhadap rakyat.
"Kan hak saya sebagai rakyat, jangan media menjadi institusi can do no wrong," ucap bekas aktivis ini. "Kalau saya kritik media yang punya kekuasaan, kenapa tidak," lanjutnya.
Dipo lalu menjelaskan, dampak dari pencitraan negatif tentang Indonesia dari tayangan media itu berdampak pula ke investasi dan citra Indonesia di luar negeri.
"Seorang duta besar datang ke saya menanyakan soal ini, apa Indonesia kacau, apa akan ada impeachment. Investor kami juga bertanya itu. Ini kan satu imej yang dibuat," jelasnya.
Dipo mengaku tidak takut dibawa ke Dewan Pers atas instruksinya memboikot media yang mendiskreditkan pemerintah. Ia juga akan menyampaikan agar media melakukan kritik secara terukur.
"Kenapa saya harus takut, dibawa ke Dewan Pers juga saya siap. Tapi juga terukurlah. Mereka bilang supaya saya terukur ngomong, saya juga minta media terukur ngomong," ujarnya.

• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar