Sabtu, 12 Februari 2011

UUPA dan Demokrasi Damai

*Masthur Yahya

Perjalanan demokrasi di Aceh pasca lahirnya UUPA (Undang-undang Pemerintahan Aceh) sebagai resolusi konflik antara pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengubah wajah perpolitikan Aceh yang revolusioner, yaitu dengan lahirnya partai lokal dan diakuinya calon independen dalam Pilkada. Kehadiran partai lokal tidak terhindarkan karena akumulasi kegagalan pemerintah pusat dalam membangun komunikasi damai secara politik dengan Aceh. Perdamaian konflik Aceh yang sudah diikrarkan melalui Kesepakatan Damai (MoU Helsinki) secara pragmatis telah menciptakan kehidupan yang lebih aman dari kontak senjata pihak yang bertikai, bila dibandingkan dengan masa konflik, keadaan sekarang jauh lebih kondusif.

Kesuksesan Pilkada Aceh tahun 2006 yang didominasi oleh kemenangan calon independen yang didukung penuh oleh elemen GAM telah mempengaruhi psikologis orang-orang kelas menengah ke atas untuk mengekspresikan “syahwat politiknya” pada periode berikutnya. Kesuksesan tersebut telah memicu “hormon politik” kelas menengah untuk ikut terlibat dalam pentas politik 2011, meski pun awalnya sayup-sayup namun hasrat tersebut kini makin vulgar. Adanya aspirasi beberapa kalangan untuk melakukan yudicial review terhadap UUPA khususnya pasal 256 yang dianggap “syubhat” dan mundur selangkah terhadap proses demokratisasi di Aceh maupun secara nasional, sebab di daerah lain di Indonesia justru sedang menuntut hal yang sama.

Pasal 256 UUPA membatasi munculnya calon independen pasca Pilkada pertama setelah MoU damai. Apapun alasannya, aspirasi untuk mereview pasal 256 sejatinya tidak membenturkan harmonisasi perdamaian di Aceh. Harmoni menjadi harapan keadaan yang ideal di tengah rakyat Aceh pasca kesepakatan damai dalam semua relasi kehidupan, baik di tengah masyarakat sipil (antara mantan kombatan dengan masyarakat biasa), maupun antara masyarakat sipil dengan kelompok militer. Harmoni yang penulis maksudkan disini adalah sebuah kondisi kehidupan yang disepakati secara kolektif oleh masyarakat sendiri untuk bersikap menghormati satu sama lain dan menyingkirkan unsur-unsur yang menyerang perasaan/batin, termasuk kekerasan psikologis dalam berpolitik maupun pemaksaan suatu kebijakan tanpa dibarengi sosialisasi yang merakyat/egaliter, menghormati setiap aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat dari golongan manapun secara objektif.

Kerukunan hidup dalam sebuah bingkai harmoni berikutnya adalah suatu keadaan yang menguatkan perdamaian yang berasal dari kaidah kehidupan yang mengakar kebawah. Dalam konteks perdamaian pasca konflik di Aceh, cita-cita kerukunan tidak terletak pada penciptaan kondisi damai dikalangan “elit” saja (misalnya pengkultusan terhadap tokoh/jargon partai yang dikeramatkan pasca MoU), melainkan juga adanya usaha untuk tidak mengganggu keharmonisan yang sudah alami ditingkat bawah.

Caranya adalah dengan interfensi yang “manusiawi” (kesantunan, kepekaan) kelompok elit di masing-masing “kelas” masyarakat. Ketenangan/kenyamanan di tingkat bawah merupakan keadaan normal yang akan didapat dengan sendirinya apabila aplikasi perdamaian masih selaras antara keinginan masyarakat bawah dengan upaya para elit politiknya di atas. Salah satu problem masa transisi adalah perpecahan, maka dari itu semua elemen masyarakat harus santun dalam mensikapi segala geliat perubahan dan pembangunan di Aceh, termasuk di bidang politik. Oleh karena itu UUPA haruslah dipahami secara komprehensif untuk kesejahteraan masyarakat Aceh, tidak hanya pada persoalan “penciptaan dan penghadangan” kekuasaan. Wallahua’lam

*Penulis adalah peneliti masalah Perdamaian dan Rekonsiliasi Aceh

Sumber : Gema Baiturrahman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar